Pada saat kini pabrik semen masih sangat tergantung kepada bahan bakar fosil batubara yang suatu saat bisa habis dan harga dunia selalu naik. Biaya bahan bakar bisa mencapai 35 % dari biaya produksi. Energi alternatif ramah lingkungan mulai digunakan yang berupa limbah pertanian : sekam padi, sisa gergajian, kulit kacang,batok kelapa, limbah tembakau; oil sludge, sampah kota, Bioethanol dsbnya .Sisa pembakaran sampai 1000 C bisa untuk campuran semen. Mari kita simak pembahasan detailnya.(admin) Semen Gresik gandakan
penggunaan bahan bakar alternatif
TUBAN - Guna menekan penggunaan energi tak terbarukan sekaligus
menerapkan industri hijau, PT Semen Gresik (Persero) pada 2013 menargetkan
kenaikan penggunaan bahan bakar alternatif sekam padi untuk 4 unit pabrik
semen di Tuban milik BUMN itu menjadi 3% dari kebutuhan bahan bakar batu
bara rata-rata 2.000 ton per hari.
"Penggunaan bahan bakar utama berupa batu bara akan terus dikurangi dengan mengoptimalkan bahan bakar alternatif. Pengurangan batu bara disebabkan cadangan bahan bakar tak terbarukan itu di masa mendatang akan semakin menipis" Ujar Kepala Departemen Produksi Semen PT Semen Gresik (Persero) Tbk Eko Rudi Nurcahyanto, senin (12/11)
"Penggunaan bahan bakar utama berupa batu bara akan terus dikurangi dengan mengoptimalkan bahan bakar alternatif. Pengurangan batu bara disebabkan cadangan bahan bakar tak terbarukan itu di masa mendatang akan semakin menipis" Ujar Kepala Departemen Produksi Semen PT Semen Gresik (Persero) Tbk Eko Rudi Nurcahyanto, senin (12/11)
Menurutnya, pemanfaatan bahan bakar alternatif seperti sekam padi dan limbah pabrik tembakau telah direalisasikan sejak 2010 yang mencapai 1,07%. Sedangkan pada 2011 naik menjadi 2,34% dan tahun ini hanya 2,12% atas pengoperasian 4 unit pabrik semen berkapasitas total 10,5 juta ton per tahun.
“Pada 2013 kami menargetkan peningkatan penggunaan energi alternatif menjadi 3% dari kebutuhan batu bara rata-rata 2.000 ton/hari, melalui penyerapan sekam padi dari Kab. Bojonegoro, Kab. Tuban dan sekitarnya,” tuturnya, seperti dilansir laman kominfo jatim.Sejak 2010 Semen Gresik menggunakan bahan bakar sekam padi dengan melibatkan para pengumpul, selain memanfaatkan limbah tembakau melalui kerjasama dengan perusahaan rokok PT HM Sampoerna Tbk. Namun, peningkatan volume penyerapan sekam padi tidak mudah, mengingat komoditas tersebut juga dimanfaatkan sebagai bahan bakar oleh industri kecil bata merah. Kepala Departemen Teknik PT Semen Gresik (Persero) Tbk Djoko Sulis mengatakan penambahan bahan bakar alternatif dapat dilakukan dengan memproses sampah kota yang cukup besar volumenya.
“Apabila volume pasokan sekam padi terbatas, maka kami bisa memanfaatkan sampah kota maupun bahan bakar alternatif lainnya melalui rekayasa teknologi,” ujarnya.Dari : Wartapedia.com
TAMBAHAN
Selain sekam dan jerami padi, menurut Direktur Litbang dan Operasional PT SG Suharto, bahan baker alternatif yang dilakukan adalah dengan menggunakan limbah pabrik rokok. Saat ini PT SG telah menggandeng pabrik rokok HM Sampoerna untuk kepentingan penggunakan bahan bakar alternatif.
Dari pabrik rokok berbasis di Surabaya ini, PT SG mendapat kiriman limbah rokok sebanyak 5-10 ton per hari. Sedangkan untuk sekam dan jerami didapat dari tiga wilayah kabupaten (Lamongan, Tuban dan Bojonegoro) sebanyak 40-50 ton sehari.
Kebutuhan batu bara PT SG dengan kapasitas produksi sebanyak 8,2 juta ton per tahun, saat ini membutuhkan sebanyak 1,5 ton. Dari jumlah itu bakal terkurangi untuk tahap awal sebanyak 15 persen, karena disubtitusi bahan bakar alternatif.
Menurut Direktur Produksi PT SG Suparni, saat ini masih berkonsentrasi pada penggunaan bahan bakar limbah pertanian. Karena dengan program ini bisa membantu petani sekitar pabrik dan daerah sekitarnya."Dari limbah pertanian dari tiga kabupaten saja kita bisa menerima sampai 800.000 ton per tahun," ungkapnya.Suparni menambahkan, penggunaan bahan bakar alternatif ini akan bisa mengurangi biaya produksi. Sehingga bisa berdampak pada menurunnya harga jual produksi.dari : surabaya.detik.com
Alternative Fuel & Resources (AFR) di Pabrik Semen
Saat ini penggunaan AFR ( Alternative Fuel and Resources) di dunia industri menjadi hal yang penting. Tuntutan terhadap lingkungan dan juga efisiensi biaya produksi menjadi faktor pendorong digunakannya AFR dalam proses produksi. Kecenderungan sekarang ini, AFR berasal dari limbah berbagai macam industri dimana masing-masing industri mensubstitusi bahan baku maupun bahan bakarnya menggunakan limbah dari industri lainnya. Hal ini menjadi semacam simbiosis mutualisme bagi dunia industri.
Selama ini, industri semen Indonesia relatif boros dalam menggunakan bahan bakar maupun bahan baku karena memproduksi semen yang kualitasnya jauh dari yang ditetapkan pemerintah melalui SNI. Namun, seiring persaingan usaha yang semakin ketat di era globalisasi ini maka industri semen mulai berinovasi untuk mengurangi biaya produksinya.
AFR yang digunakan oleh pabrik semen ada beberapa macam yaitu sekam padi, oil sludge, fly ash, dan bottom ash.
Sekam padi dan oil sludge digunakan sebagai pengganti batu bara untuk bahan bakar. Sementara, fly ash dan bottom ash ditambahkan sebagai bahan aditif untuk menghasilkan semen.
Selain itu banyak pula perusahaan pangan yang menitipkan produksinya yang cacat atau kadaluarsa untuk dimusnahkan di pabrik semen. Bahkan baru-baru ini ada salah satu perusahaan semen yang membuka jasa pemusnahan dokumen perusahaan yang tidak terpakai. Hal ini tidak lain karena suhu yang digunakan pada produksi semen sangat tinggi mencapai 1000 C sehingga material2 kebanyakan akan musnah terbakar bila dimasukkan ke dalam pembakaran.
Dari :budibadibu.wordpress.com
SEMEN TONASA: Gunakan Sorgum sebagai Bahan Bakar Alternatif
MAKASSAR: PT Semen Tonasa berusaha memangkas 50% biaya produksi, melalui penggunaan tanaman sorgum sebagai alternatif bahan bakar untuk mengurangi penggunaan batu bara.
Direktur Utama PT Semen Tonasa Sattar Taba mengatakan, selama ini biaya produksi pabrik mencapai 35% dari total biaya yang dikeluarkan per tahun.
”Biaya produksi kami memang cukup besar tiap tahun. Dengan batang dan daun sorgum yang bisa diproses menjadi ethanol, kami berharap itu bisa menjadi bahan bakar alternatif, agar bisa menekan biaya produksi hingga 50%,” tutur Sattar di sela-sela panen perdana sorgum di Pabrik Gula Takalar, hari ini.
Namun dia enggan merinci, berapa besar total pengeluaran perusahaannya per tahun. Termasuk tidak merinci, berapa besar biaya produksi yang dikeluarkan perusahaan yang tergabung dalam Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tersebut selama ini. Dia hanya menyebutkan selama ini pihaknya sudah berangsur melakukan efisiensi biaya, dengan menekan beberapa pengeluaran.
”Total pengeluaran kami per tahun, itu rahasia perusahaan. Begitu juga dengan biaya produksi, tetapi dari semua BUMN kami yang terendah,” ungkapnya.
Dia menuturkan selama ini pihaknya sudah menggunakan batok kelapa, sekam padi, dan kulit kacang mente sebagai alternatif bahan bakar di pabrik, untuk mengurangi penggunaan batu bara.Tetapi baru bisa menekan 10% hingga 15% biaya produksi per tahun. Pihaknya menargetkan, dengan penggunaan tanaman sorgum sebagai alternatif bahan bakar di pabrik, biaya produksi bisa ditekan hingga 50% per tahun.
Oleh karena itu pihaknya bekerja sama dengan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XIV untuk pengembangan jenis tanaman palawija ini agar bisa menjadi alternatif bahan bakar di pabrik semen.
Kerja sama yang dijalin tersebut lanjutnya, sejalan dengan anjuran Menteri BUMN Dahlan Iskan, yang meminta agar antar BUMN bisa saling bersinergi.
”Kebetulan PTPN XIV memiliki banyak lahan yang belum digunakan, sehingga kami menyediakan bibit untuk ditanam, dan hasilnya akan kami beli,” terang Sattar.
Administratur Pabrik Gula Takalar Miftahul Munir mengatakan, pihaknya telah menamam sorgum varietas lokal satria sejak 8 Desember 2011, dan kini sudah memasuki masa panen.
Total biaya yang dikeluarkan untuk menanam hingga panen mencapai Rp 6,7 juta. Sementara harga pembelian pemerintah (HPP) yang ditetapkan yaitu Rp158.000 per ton atau Rp 158,0/kg.
Direktur Produksi PTPN XIV Amrulah Haris mengatakan tanaman sorgum hanya merupakan tanaman yang diusahakan, karena memang bukan inti bisnis perusahaannya.
”Kebetulan kami memiliki lahan yang cukup luas. Di Takalar saja, total luas lahan kami sekitar 5.500 hektar. Sedangkan lahan yang setiap tahun ditanami tebu 4.000 ha, sehingga masih ada kurang lebih 1.000 ha untuk jenis tanaman lain,” tutur Haris. (mw).Dari : bisniskti.com
Sampah di Yogyakarta direncanakan
untuk Bahan bakar pabrik semen
Untuk mengatasi persoalan sampah di Yogyakarta, pemerintah setempat bekerjasama dengan kedutaan Inggris dan Perancis tengah mengembangkan teknologi Refuse Derifed Fuel (RDF). Teknologi ini memungkinkan untuk mengubah sampah menjadi bahan bakar industri semen.
Sampah yang akan diolah, papar Manager Kartamantul, Ferry Anggoro Suryo Kusumo, adalah sampah yang terdapat di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Piyungan Bantul. "Dengan teknologi ini akan membantu pengurangan volume sampah di TPA Piyungan hingga 10 persen residu saja," kata Ferry di Kompleks Kepatihan Kantor Gubernur Yogyakarta, Selasa (24/1).
Ia melanjutkan, teknologi ini akan mengubah sampah menjadi batu bara muda. Teknologi ini sudah banyak dimanfaatkan oleh negara - negara di Eropa dan Asia seperti Korea, Jepang, Inggris, dan Perancis.
"Saat ini industri semen kan menggunakan bahan bakar batu bara, maka akan disubstitusi dengan hasil RDF itu. Kalau sehari jumlah sampah mencapai 350 ton sehari itu bisa langsung diolah dan residunya berupa abu. Residu sendiri rekomendasinya bisa diolah menjadi macam-macam seperti untuk bahan konblok," jelasnya.
Sementara itu, pemerintah Yogyakarta ikut menggandeng Jepang untuk turut mengatasi persoalan sampah. Dengan Jepang-lah, teknologi capture metan dikembangkan. Teknologi ini digunakan untuk menangkap gas metan dari sampah yang sifatnya lebih berbahaya dari CO2.
"Gas metan yang dihasilkan sampah, sifatnya 21 kali lipat lebih membahayakan dibanding CO2. Dengan teknologi capture metan, gas akan di-clearing dan dinetralisasi, meski belum di-generate sebagai produk baru," ungkapnya.
Untuk teknologi capture metan ini akan memanfaatkan sekitar 12,5 hektar lahan di TPA Piyungan, sedangkan teknologi RDF akan memanfaatkan lima hektar lahan. (NatGeo.co.id)